Keuangan

Bagaimana Tarif Listrik Mengendalikan Inflasi dan Deflasi

Pernahkah Anda berhenti sejenak dan memikirkan betapa sentralnya listrik dalam hidup kita? Dari secangkir kopi hangat di pagi hari, ponsel yang selalu menyala, hingga pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan kita sehari-hari, semuanya butuh listrik. Listrik bukan sekadar penerangan; ia adalah denyut nadi ekonomi, sebuah komoditas strategis yang pergerakan harganya bisa memengaruhi stabilitas harga barang dan jasa di seluruh negeri.

Di Indonesia, di mana Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjadi tulang punggung penyedia energi, setiap keputusan terkait tarif listrik adalah sebuah langkah besar yang dampaknya terasa hingga ke dapur rumah tangga dan lantai produksi industri. Tak heran jika tarif listrik seringkali menjadi topik hangat, bahkan sensitif, karena ia punya kekuatan tersembunyi: mengendalikan laju inflasi atau deflasi. Mari kita bedah lebih dalam bagaimana "tuas" tarif listrik ini bekerja dalam perekonomian kita.

Bagian 1: Listrik, Lebih dari Sekadar Penerangan: Sebuah Pengantar Ekonomi

Bayangkan ekonomi kita sebagai sebuah orkestra besar. Listrik adalah salah satu instrumen paling fundamental yang dimainkan di dalamnya. Tanpa listrik, banyak instrumen lain akan berhenti berbunyi. Ia adalah input utama bagi hampir semua sektor, mulai dari rumah tangga yang menggunakannya untuk memasak dan hiburan, hingga industri yang bergantung padanya untuk menggerakkan mesin-mesin produksi.

Oleh karena itu, harga listrik, atau yang kita kenal dengan Tarif Dasar Listrik (TDL), bukan hanya sekadar angka di tagihan bulanan. Ia adalah cerminan dari biaya produksi, kebijakan pemerintah, dan bahkan kondisi ekonomi global. Pemerintah, melalui PLN, memiliki peran sentral dalam menentukan TDL ini. Keputusan menaikkan atau menurunkan tarif bukan hanya soal untung rugi PLN, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan ekonomi makro. Ini adalah sebuah dilema klasik: di satu sisi, PLN perlu tarif yang memadai untuk menutupi biaya operasional dan investasi; di sisi lain, pemerintah harus memastikan listrik tetap terjangkau bagi masyarakat dan tidak membebani dunia usaha. Di sinilah peran listrik sebagai pengendali inflasi dan deflasi mulai terlihat.

Bagian 2: Tarif Listrik: Jantung Inflasi dan Deflasi Nasional

Inflasi adalah momok bagi setiap rumah tangga dan pelaku usaha. Ia menggerogoti daya beli, membuat harga-harga melambung, dan menciptakan ketidakpastian ekonomi. Sebaliknya, deflasi, meskipun kadang terdengar positif karena harga turun, jika terjadi terus-menerus bisa menjadi sinyal stagnasi ekonomi. Nah, di sinilah tarif listrik menunjukkan kekuatannya yang luar biasa.

Ketika Tarif Listrik Memicu Inflasi:

Kenaikan tarif listrik memiliki efek domino yang cepat dan langsung terhadap inflasi. Mengapa? Karena listrik adalah komponen biaya yang ada di mana-mana.

"Listrik merupakan komoditas strategis yang digunakan hampir di semua sektor," demikian sebuah studi menjelaskan, "sehingga kenaikan harga listrik akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi Indonesia."

Mari kita lihat beberapa contoh nyata:

  • Prediksi di Masa Lalu: Pada tahun 2013, Kementerian ESDM pernah memprediksi bahwa penyesuaian tarif listrik akan berkontribusi sekitar 0,3% hingga 0,5% terhadap inflasi nasional. [3] Penyesuaian ini kala itu menyasar pelanggan rumah tangga besar (6.600 VA ke atas), bisnis menengah dan besar (6.600 VA hingga di atas 200 kVA), serta kantor pemerintah (6.600 VA hingga 200 kVA), bukan pelanggan kecil 450 VA dan 900 VA yang disubsidi. Angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi dalam konteks inflasi nasional, setiap desimal sangat berarti.
  • "Normalisasi" Tarif dan Dampak Terkini: Contoh yang lebih baru dan sangat terasa adalah "normalisasi tarif listrik" pada April 2025. Istilah "normalisasi" ini merujuk pada berakhirnya diskon 50% yang sebelumnya diberikan kepada pelanggan pascabayar. Akibatnya, tagihan listrik kembali ke tarif normal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa normalisasi ini menjadi penyumbang utama inflasi bulanan pada April 2025, yang mencapai 1,17%. Yang mengejutkan, tarif listrik sendiri menyumbang 0,97% dari total inflasi tersebut, dengan kenaikan tarif mencapai 26,99% untuk pelanggan pascabayar. Ini adalah bukti nyata betapa kuatnya pengaruh tarif listrik. Kenaikan harga energi secara umum juga terbukti meningkatkan kemiskinan dan terkait erat dengan inflasi, dengan dampak yang lebih besar terasa di Pulau Jawa.

Ketika Tarif Listrik Menjadi Penjaga Deflasi:

Sebaliknya, ketika pemerintah memutuskan untuk menurunkan tarif listrik atau memberikan diskon, efeknya bisa langsung terasa sebagai deflasi. Ini adalah alat yang ampuh untuk menjaga daya beli masyarakat.

Pada Februari 2025, Indonesia mencatat fenomena deflasi bulanan sebesar 0,48%. Salah satu pendorong utamanya? Kebijakan diskon tarif listrik 50% untuk pelanggan rumah tangga berdaya 2.200 VA serta penurunan harga komoditas pangan. Diskon ini, meskipun bersifat sementara, menunjukkan bagaimana intervensi harga listrik dapat secara instan meredakan tekanan inflasi dan memberikan "napas" bagi konsumen.

Analis ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan, "Kebijakan diskon listrik perlu diperpanjang untuk mempertahankan daya beli, namun harus diimbangi dengan penguatan sektor produksi agar deflasi tidak berubah menjadi stagnasi ekonomi."

Kutipan ini menyoroti bahwa meskipun diskon listrik bisa menjadi alat yang efektif untuk deflasi, ia harus diimbangi dengan strategi ekonomi yang lebih luas agar tidak menimbulkan masalah baru.

Bagian 3: Dampak pada Dapur Rumah Tangga dan Kantong Konsumen

Bagi jutaan rumah tangga di Indonesia, tarif listrik adalah salah satu pos pengeluaran bulanan yang tak terhindarkan. Setiap kenaikan, sekecil apa pun, akan langsung membebani anggaran keluarga. Terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kenaikan tarif listrik bisa "semakin menambah beban hidup mereka," seperti yang diungkapkan dalam sebuah kajian.

Inilah mengapa pemerintah seringkali memberikan subsidi listrik. Subsidi ini ibarat "bantalan" yang menjaga agar harga listrik tetap terjangkau bagi kelompok masyarakat tertentu, khususnya rumah tangga kecil (450 VA dan 900 VA) serta UMKM. Efek positif dari subsidi ini adalah peningkatan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan output ekonomi.

Namun, subsidi juga punya sisi lain. Ia bisa menimbulkan "distorsi perekonomian, yakni alokasi sumber daya yang tidak efisien," dan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2024 saja, pemerintah menganggarkan Rp 75,8 triliun untuk subsidi listrik. Angka ini sangat besar dan menunjukkan komitmen pemerintah, tetapi juga tantangan fiskal yang tidak kecil.

Contoh paling baru dari dilema ini adalah pembatalan rencana diskon listrik 50% pada Juni-Juli 2025. Diskon ini awalnya ditujukan untuk sekitar 79,3 juta rumah tangga dengan daya hingga 1300 VA. Namun, rencana ini dibatalkan karena "keterlambatan dalam proses penganggaran," dan digantikan dengan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang dinilai "lebih siap dari sisi data dan pelaksanaan" oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Keputusan ini menunjukkan betapa rumitnya menyeimbangkan antara bantuan sosial dan keberlanjutan fiskal.

Dengan total 92.877.292 pelanggan PLN pada akhir 2024, di mana 84.665.236 di antaranya adalah pelanggan rumah tangga, setiap kebijakan tarif listrik akan menyentuh sebagian besar populasi. Dominasi pelanggan rumah tangga ini, yang juga mengonsumsi porsi terbesar energi listrik (42,59% dari total penjualan PLN pada 2024), menjelaskan mengapa tarif listrik menjadi isu yang sangat sensitif secara politik.

Bagian 4: Geliat Industri: Biaya Produksi dan Daya Saing Global

Selain rumah tangga, sektor industri adalah konsumen listrik terbesar kedua di Indonesia, menyerap 30,11% dari total penjualan listrik PLN pada 2024. Bagi mereka, listrik bukan sekadar fasilitas, melainkan "input penting bagi kegiatan sektor industri dalam menjalankan aktivitas proses produksi."

Kenaikan tarif listrik secara langsung memengaruhi biaya produksi di seluruh sektor industri. Industri yang sangat bergantung pada energi, seperti manufaktur, pengolahan, dan perakitan, akan merasakan dampaknya paling parah. Sebagai contoh, industri mesin dan perlengkapan YTDL (Yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain) memiliki komposisi biaya listrik PLN terbesar, mencapai 12,16% dari total biaya mereka.

"Kenaikan tarif listrik per kWh secara langsung meningkatkan biaya produksi, yang bisa mempengaruhi daya saing perusahaan," demikian dijelaskan dalam sebuah analisis.

Biaya operasional yang lebih tinggi dapat memaksa perusahaan menaikkan harga produk, menekan margin keuntungan, atau bahkan memengaruhi keputusan investasi dan ekspansi kapasitas produksi. Jika biaya produksi di dalam negeri melonjak karena tarif listrik, ini bisa menyebabkan "Indonesia kebanjiran produk impor dengan harga cukup murah," karena produk lokal menjadi kurang kompetitif.

Sebaliknya, penurunan tarif listrik bisa menjadi "angin segar" bagi industri. Ini dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan margin keuntungan, dan mendorong perusahaan untuk berinvestasi kembali dalam ekspansi atau peningkatan kapasitas. Tarif listrik yang kompetitif sangat penting untuk menarik investasi asing dan menjaga daya saing industri nasional di pasar global.

Namun, ada nuansa penting di sini. Beberapa studi menunjukkan bahwa meskipun harga listrik memengaruhi biaya produksi, pengaruh harga listrik riil terhadap permintaan listrik agregat mungkin tidak signifikan secara statistik. Faktor-faktor seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil, populasi, dan perubahan struktur ekonomi justru memiliki dampak yang lebih positif dan signifikan terhadap permintaan listrik. Ini menyiratkan bahwa meskipun penurunan tarif listrik akan disambut baik oleh industri, ia mungkin bukan satu-satunya "peluru ajaib" untuk mendorong pertumbuhan industri secara masif, dan pemerintah perlu mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi makro lainnya secara komprehensif.

Bagian 5: Dilema Kebijakan: Menjaga Keseimbangan Ekonomi yang Rapuh

Pemerintah Indonesia, melalui PLN, terus-menerus dihadapkan pada pilihan sulit dalam menetapkan tarif listrik. Ini adalah sebuah "tali temali" yang rumit antara tujuan sosial dan ekonomi. Di satu sisi, ada keinginan untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk memastikan keberlanjutan finansial PLN dan mengurangi beban subsidi pada APBN.

"Pemerintah berharap dengan kenaikan tarif dasar listrik dapat menjaga kesinambungan fiskal sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia," demikian sebuah laporan mencatat.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif listrik juga dilihat sebagai alat untuk mengelola keuangan negara.

Subsidi listrik, meskipun penting untuk keadilan sosial, telah menjadi beban finansial yang signifikan. Realisasi subsidi listrik pada tahun 2023 mencapai Rp 67,42 triliun, dan dianggarkan Rp 75,8 triliun untuk tahun 2024. Jumlah ini sangat besar dan terus meningkat, sebagian karena kenaikan biaya pokok penyediaan listrik (BPP) yang dipengaruhi oleh fluktuasi harga bahan bakar fosil.

Dilema ini semakin diperparah oleh ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil, terutama batu bara, untuk pembangkit listrik (sekitar 62,5% energi listrik masih bersumber dari batu bara). Fluktuasi harga komoditas global ini secara langsung memengaruhi biaya operasional PLN dan, pada akhirnya, tarif listrik.

Keputusan untuk membatalkan diskon listrik 50% pada Juni 2025 dan mengalihkannya ke Bantuan Subsidi Upah (BSU) adalah contoh nyata dari upaya pemerintah untuk mencari mekanisme bantuan yang lebih efisien dan tepat sasaran. Ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai menyadari bahwa subsidi listrik yang tidak tepat sasaran dapat menimbulkan distorsi dan pemborosan anggaran, tanpa memberikan stimulus ekonomi yang sepadan.

Bagian 6: Menatap Masa Depan: Energi Bersih dan Stabilitas Harga Jangka Panjang

Masa depan sektor kelistrikan Indonesia tidak hanya tentang bagaimana kita mengelola tarif hari ini, tetapi juga bagaimana kita bertransisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. PLN memiliki komitmen ambisius untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.

Transisi ini membawa tantangan dan peluang baru dalam konteks inflasi dan deflasi. Di satu sisi, investasi awal dalam energi terbarukan (EBT) bisa sangat mahal, yang berpotensi menaikkan tarif listrik dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, diversifikasi ke EBT dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang harganya volatil, sehingga menciptakan stabilitas biaya yang lebih baik dan berpotensi menekan tarif listrik. [18]

PLN juga aktif mendorong peningkatan konsumsi listrik melalui inisiatif seperti pengembangan infrastruktur kendaraan listrik (EV). Pada tahun 2024, jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) meningkat 299% menjadi 3.233 unit, dan konsumsi listrik dari SPKLU melonjak 370%. Ini adalah langkah strategis untuk menyerap surplus listrik yang ada sekaligus mendukung target NZE.

Namun, ada juga kebijakan yang menimbulkan pertanyaan, seperti penghapusan insentif net metering untuk PLTS Atap dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024. [25] Kebijakan ini, yang berarti kelebihan listrik dari PLTS Atap tidak lagi diperhitungkan dalam tagihan, dapat mengurangi daya tarik finansial PLTS Atap bagi pelanggan rumah tangga. Inkonsistensi semacam ini bisa memperlambat adopsi energi terbarukan dan memengaruhi bagaimana surplus listrik dapat diserap secara efisien.

Kesimpulan: Listrik sebagai Barometer Ekonomi yang Sensitif

Tarif listrik di Indonesia adalah lebih dari sekadar harga; ia adalah barometer sensitif yang mencerminkan kompleksitas kebijakan ekonomi makro. Setiap penyesuaian, diskon, atau normalisasi tarif memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap laju inflasi atau deflasi, memengaruhi daya beli rumah tangga dan daya saing industri.

Pemerintah dan PLN terus berupaya menyeimbangkan antara menjaga keterjangkauan listrik bagi masyarakat, memastikan kesehatan finansial perusahaan, dan mendorong transisi energi menuju masa depan yang lebih hijau. Tantangan ini semakin besar mengingat skala populasi dan luasnya wilayah Indonesia.

"Kebijakan tarif listrik perlu lebih inklusif dengan memperkuat energi terbarukan dan memastikan subsidi tepat sasaran," demikian sebuah pandangan menyimpulkan.

Ini adalah kunci untuk memastikan bahwa listrik tidak hanya menerangi rumah-rumah kita, tetapi juga menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi yang stabil, adil, dan berkelanjutan. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana tarif listrik mengendalikan inflasi dan deflasi, kita dapat bersama-sama mendukung kebijakan yang lebih bijaksana demi Indonesia yang lebih terang dan sejahtera.


Deddy K.


Monthly Top