Joko Widodo bukan hanya Presiden. Di era digital ini, ia adalah komoditas. Ia adalah bahan baku utama dalam industri konten Indonesia. Ia adalah klik. Ia adalah algoritma. Dan, ya, ia adalah cuan—baik bagi yang mencintainya, maupun yang membencinya dengan sangat keras.
Jokowi tidak pernah benar-benar "hilang" dari timeline. Mau naik motor, makan bakso, meresmikan jalan, diam, marah, senyum, bahkan batuk—semuanya bisa jadi berita. Bahkan ketika dia tidak melakukan apa-apa, akan tetap ada konten tentang dia.
Media tahu ini. Kreator konten tahu ini. Algoritma media sosial pun tahu ini. Maka tak heran, Jokowi adalah produk paling laku di republik konten.
Kamu bisa jadi YouTuber politik, komika, analis ekonomi, tukang reaction, atau hanya tukang baca caption Instagram. Selama kamu bawa nama Jokowi, peluang ditonton akan selalu ada. Ia seperti nama sakti: masukkan satu kali di judul, algoritma akan bantu promosikan ke lebih banyak orang.
Dan ini tidak terbatas pada yang mendukung. Justru yang nyinyir, yang marah-marah, yang ngegas, kadang lebih ramai. Karena algoritma tidak peduli kamu pro atau kontra. Algoritma hanya peduli satu hal: ini rame nggak?
Judul-judul seperti "Jokowi Sindir Pejabat", "Jokowi Buka Suara", atau "Jokowi Kunjungi Pasar" adalah stok abadi bagi media daring. Meski isinya bisa ditebak dan kadang tidak signifikan, judul dengan nama Jokowi hampir pasti dapat klik.
Kenapa? Karena publik sudah dikondisikan untuk bereaksi. Jokowi bukan sekadar tokoh—dia adalah pemicu emosi. Dan di dunia digital, emosi = engagement = uang iklan.
“Makin pedas, makin keras, makin deras duitnya.”
Banyak kanal YouTube dan akun media sosial besar tumbuh dari kritik ke Jokowi. Bukan hanya kritik, tapi kritik yang emosional, meledak-ledak, kadang penuh tuduhan liar. Dan anehnya, penontonnya setia. Kenapa? Karena di era polarisasi, orang ingin diyakinkan bahwa kemarahannya valid.
Dan di sinilah letak absurditasnya: bahkan konten yang menyerang Jokowi tiap hari, bisa hidup karena Jokowi. Ia adalah sumber amarah sekaligus sumber penghasilan.
Faktanya, tak sedikit pengkritik Jokowi yang kini hidup dari adsense, saweran, atau donasi komunitas. Makin keras narasinya, makin viral. Makin viral, makin banyak pemasukan.
Dalam masyarakat yang terbelah, tokoh seperti Jokowi bukan cuma pemimpin. Ia adalah simbol. Ia jadi layar proyeksi emosi rakyat—yang senang, kecewa, marah, putus asa. Semuanya diproyeksikan ke satu orang. Dan emosi kolektif itu sangat monetizable.
Entah kamu bilang dia “Bapak Infrastruktur”, atau sebaliknya, menuduh dia “boneka elit”, kamu tetap sedang berjualan: jualan opini, jualan keresahan, jualan keberpihakan. Dan platform digital menghargai itu semua dengan iklan dan reach.
Algoritma cinta drama. Dan Indonesia punya panggung drama politik yang ideal. Jokowi di tengahnya, dikelilingi oleh pemuja dan pembenci. Setiap langkah, gestur, atau diamnya sekalipun bisa ditafsirkan jadi "bahan."
Polarisasi jadi industri. Kreator di dua sisi saling bantu secara tidak langsung. Yang satu bikin konten puja-puji, yang lain membalas dengan konten serangan. Publik pun menonton dua sisi ini seperti sinetron tanpa akhir. Dan keduanya sama-sama dapat pemasukan.
Jokowi adalah konten yang tak ada habisnya.
Banyak yang hidup karena Jokowi, secara harfiah. Dari wartawan media daring, tim admin YouTube, desainer meme, pembuat thread X, hingga pengelola TikTok politik—semuanya punya alasan eksistensi karena ada "pasar Jokowi".
Dan ini bukan hanya soal isi kontennya, tapi juga model bisnisnya: dari iklan, kerjasama brand, undangan narasumber, hingga donasi personal. Jokowi telah menjadi tokoh yang tak hanya menggerakkan roda pemerintahan, tapi juga roda ekonomi kreator digital.
Di dunia digital, realitas hanyalah bahan mentah. Yang paling penting adalah bagaimana reaksi publik dikumpulkan, dibentuk, dan dijual kembali. Jokowi—mau disayang atau dimaki—adalah sumber reaksi yang tak habis-habis.
Maka benar adanya: semua tentang Jokowi bisa jadi uang. Bahkan kebencian padanya pun bisa menghasilkan. Dalam sistem digital yang kejam, ia adalah figur yang tidak hanya menghidupi lembaga negara, tapi juga menghidupi media, kreator, bahkan para pembencinya sendiri.
Deddy K.