Dengar, di dunia X (dulu Twitter), ada drama yang selalu diputar, bukan sekadar tweet biasa. Ada yang tak terlihat tapi kuat, menggerakkan semua yang kita lihat dan rasakan. Kita bicara soal bot, buzzer, dan tentu saja, si algoritma – tiga dalang utama di balik panggung digital kita. Tapi bukan cuma itu. Ada juga soal duit, janji-janji muluk tentang "kebebasan berbicara" yang seringkali jadi bumerang, sampai pertanyaan besar: seberapa bertanggung jawab sih platform ini?
---Bayangkan begini: di panggung X yang ramai ini, ada tiga jenis pemain utama.
Pertama, para bot. Mereka ini kayak prajurit robot, nggak kenal lelah, kerja 24 jam nonstop. Kerjaan mereka cuma satu: membanjiri linimasa dengan tweet super cepat. Ribuan tweet dalam hitungan menit, teriakkan yang sama diulang-ulang. Mereka ini megafon otomatis, diciptakan cuma buat bikin suara ramai, membesarkan sesuatu, atau sekadar bikin keramaian palsu. Nggak punya emosi, cuma deretan kode yang jalanin perintah.
Terus, ada buzzer. Nah, ini lebih menarik. Mereka pasukan manusia, kayak kita juga, punya jari dan akun asli yang kelihatan meyakinkan. Tapi, mereka bergerak bareng-bareng, kayak diatur dari belakang. Mungkin mereka dibayar, mungkin juga punya tujuan sendiri. Mereka bisa serbu dengan like, retweet, atau komentar yang mirip-mirip. Buzzer ini kayak bisikan-bisikan kecil yang kalau kumpul jadi banyak, bisa berubah jadi teriakan nyaring yang bikin orang percaya itu suara banyak orang.
Terakhir, ini dia bosnya, sang sutradara agung yang nggak pernah tidur: algoritma X. Dia ini otaknya X, yang terus-menerus belajar, menganalisis, dan akhirnya mutusin. Dia yang jadi kurator linemasa kita, yang nentuin tweet atau topik mana yang bakal jadi trending topic, mana yang bakal muncul di rekomendasi kita, dan mana yang cuma jadi debu di lautan data. Algoritma ini nggak punya perasaan atau moral, dia cuma punya satu tujuan: bikin kita makin lengket di aplikasi. Makin lama kita nge-scroll, makin lama kita interaksi, dia makin sukses.
---Dunia maya itu kayak medan perang ide, dan X ini panggung utamanya. Di balik semua tweet yang muncul real-time dan trending topic yang nge-gas, ada permainan rumit yang namanya manipulasi. Ini ulah para bot dan buzzer tadi, dibantu si algoritma.
Tujuan mereka? Ya jelas, mau mempengaruhi kita, bikin kita percaya sama sesuatu, atau bikin kita mikir ini yang lagi ramai. Cara kerjanya cerdik banget. Mereka bikin metrik engagement—jumlah like, retweet, komentar—jadi bengkak. Setiap like atau retweet yang mereka hasilkan itu kayak tetesan air yang pelan-pelan ngisi kolam popularitas sebuah konten. Tujuannya cuma satu: bikin ilusi seolah konten itu didukung banyak orang dan penting banget. Bayangin, tweet yang harusnya cuma disukai beberapa orang, tiba-tiba dapat ribuan retweet dalam sejam. Itu bukan karena tweet-nya keren banget, tapi karena didorong paksa oleh pasukan nggak kelihatan ini.
Mereka juga bisa banjir X pakai tweet yang sama persis atau hashtag tertentu biar jadi trending topic. Kalau ada hashtag yang tiba-tiba melesat ke puncak tren, kita jadi bertanya-tanya: ini beneran karena banyak orang suka, atau ada yang ngatur dari belakang?
Manipulasi ini nggak cuma soal angka doang. Ini kayak sihir buat mengaburkan kenyataan. Kalau ada hoax (berita bohong sengaja) atau fitnah yang dibanjiri engagement palsu, dia bisa kelihatan valid, populer, bahkan kayak kebenaran. Ini bahaya banget, karena bisa bikin kita ragu sama apa yang benar, muterbalik fakta, dan akhirnya, bikin kita nggak percaya lagi sama informasi apa pun. Susah banget bedain mana suara asli, mana yang cuma gema buatan.
---Ini dia bagian paling menarik sekaligus bikin geleng-geleng kepala. Algoritma X itu ibarat sutradara yang nggak pernah tidur. Tugasnya cuma satu: ngejar engagement. Makin ramai interaksi di sebuah tweet atau topik, makin tinggi dia nongol di linemasa kita. Algoritma ini nggak peduli isinya apa, yang penting ada reaksi.
Ironisnya, konten yang bikin emosi, yang kontroversial, atau yang sengaja memecah belah, itu justru yang paling banyak dapat engagement. Sebuah tweet yang provokatif, yang menyerang, atau yang bahas hal sensitif, itu kayak magnet buat mata dan jari kita. Orang yang setuju pasti nge-like, yang marah nge-retweet buat nyebar amarahnya, dan yang nggak setuju bakal nge-balas buat bantah. Pokoknya rame!
Kalau bot dan buzzer banjir X dengan konten kayak gini, algoritma X kayak "ngasih hadiah" dengan nyebarin lebih luas. Ini bikin lingkaran setan yang susah putus: manipulasi bikin engagement tinggi, engagement tinggi bikin algoritma makin nyebar, dan penyebaran itu akhirnya memperparah perpecahan (polarisasi) di dunia maya.
---Polarisasi di X itu bukan cuma sekadar debat biasa. Dia itu luka yang makin lama makin lebar, bikin pengguna kepecah jadi kubu-kubu yang saling musuhan, jarang banget ketemu di tengah. Algoritma X, dengan niatnya bikin kita "terlibat", malah jadi penyebab utama badai perpecahan ini.
Kita semua berpotensi hidup di dalam kamar gema (echo chamber) pribadi. Algoritma, yang belajar apa yang kita suka dan siapa yang kita ikuti, dengan setia nyajiin lebih banyak dari apa yang kita setujui. Kalau kamu suka interaksi sama satu sisi pandangan politik, algoritma bakal nge-banjir linemasa kamu dengan konten dari sisi itu aja. Ini bikin kita hidup di dunia yang terpecah-pecah, di mana kita cuma denger gema dari keyakinan kita sendiri. Suara-suara yang beda disaring, pandangan yang netral jarang muncul.
Dampaknya? Wah, parah. Kalau kita terus-terusan dikelilingi sama pandangan yang sama, keyakinan kita jadi makin kuat, dan kelompok "lain" itu jadi kelihatan asing, bahkan musuh. Ini memicu dehumanisasi: lawan politik bukan lagi orang dengan pandangan beda, tapi kayak monster yang harus dilawan dan dihancurkan. Diskusi yang sehat jadi mati, diganti sama cacian dan kebencian.
Fitnah dan disinformasi juga tumbuh subur di lingkungan yang terpolarisasi ini. Sebuah hoax yang udah jelas dibantah sama fakta, bisa aja terus hidup dan nyebar di "kamar gema" tertentu. Kenapa? Karena penonton di situ udah cenderung percaya, dan algoritma juga bakal terus nyajiin itu karena bikin engagement. Ironisnya, bahkan kalau ada yang coba jelasin atau bantah hoax itu, bisa-bisa malah memperparah polarisasi, karena direspons dengan kemarahan atau tuduhan "sensor" oleh pihak yang merasa diserang.
Ini bukan cuma soal tweet yang salah doang, ini bisa merusak kesehatan mental pengguna. Coba bayangin, dapat serangan pribadi, intimidasi, atau hujatan terus-menerus cuma karena kita ngeluarin pandangan. Stresnya luar biasa. Polarisasi juga bikin kita tertekan buat milih kubu; kalau coba netral, malah dituduh pengecut. Makanya banyak influencer yang dulunya ngetop di X, akhirnya milih cabut, tutup akun. Nggak tahan sama gelombang permusuhan yang nggak ada habisnya. Mereka nyari ketenangan, kabur dari "medan perang" digital yang makin kotor.
---Polarisasi membelah pengguna menjadi kubu yang saling bermusuhan. Dalam 'kamar gema' algoritma, kebenaran sering kalah bersaing dengan volume dan ledakan emosi, merusak kesehatan mental pengguna.
Di X, ada banyak janji-janji manis, terutama sejak Elon Musk ambil alih. Ada dorongan besar buat bikin platform ini lebih untung. Fitur kayak bagi hasil iklan dan langganan X Premium (centang biru) itu jadi jurus andalan buat narik duit. Idenya, kreator bikin konten bagus, kalau banyak yang lihat, mereka dapat duit. Bagus di atas kertas.
Tapi, di sinilah inkonsistensi-nya kelihatan jelas. Syarat buat dapat duit dari iklan itu kan harus punya banyak follower dan views. Ini yang bikin kreator jadi ngejar engagement mati-matian, bahkan kalau itu berarti harus bikin konten yang kontroversial atau nyebarin hoax atau fitnah biar viral. Jadi, monetisasi yang tujuannya biar kreator semangat, malah bikin mereka rela ngorbanin integritas informasi. X pengen untung dari engagement, tapi engagement yang paling besar sering datang dari konten yang paling bikin masalah.
Inkonsistensi mencolok: monetisasi X mendorong kreator mengejar engagement tinggi, bahkan jika itu berarti menyebarkan hoax, fitnah, dan polarisasi tajam, mengorbankan integritas informasi.
Lalu, soal integritas informasi itu sendiri. X kan gembar-gembor soal "kebebasan berbicara absolut." Kedengarannya keren. Tapi, kenyataannya? Banyak kasus akun ditutup, tweet dihapus, atau jangkauan konten dibatasi, yang seringkali bukan karena ngelanggar hukum, tapi karena bahas isu sensitif atau kritik tertentu. Jadi, di satu sisi bebas bicara, di sisi lain tiba-tiba bisa dibungkam. Ini kontradiktif banget. Banyak hoax yang udah jelas bohongnya masih bebas beredar, malah rame. Kesannya, X itu malah suka sama keramaian yang dihasilkan hoax, karena itu artinya engagement dan potensi iklan naik. Ini bikin kita makin susah bedain mana yang bener, mana yang bohong. Kepercayaan publik ke platform ini jadi terkikis.
X menggembar-gemborkan "kebebasan berbicara absolut," namun realitanya sering melakukan penutupan akun atau pembatasan jangkauan, menunjukkan inkonsistensi yang tajam.
Dan yang paling krusial, soal tanggung jawab platform. X ini kan kayak alun-alun kota digital, pengaruhnya gede banget ke masyarakat. Tapi, motif Elon Musk beli X itu seringkali dituding lebih ke ambisi pribadi dan bisnis, bukan demi kemaslahatan umat manusia. Janji "kebebasan berbicara absolut" itu sering diartikan sebagai alasan buat ngurangin moderasi ketat, yang ujung-ujungnya bikin hoax, fitnah, dan kebencian makin subur.
Para pengiklan, yang nyumbang duit paling banyak, jadi korban. Mereka kan nggak mau iklannya nongol di samping tweet yang isinya permusuhan atau fitnah. Walaupun X bilang punya fitur brand safety, kalau isinya platformnya udah kayak gitu semua, buat apa? Banyak merek besar narik iklan dari X. Itu bukti nyata bahwa kekhawatiran mereka bukan bohongan, tapi karena X gagal nyediain tempat yang etis dan aman buat iklan. Ini nunjukkin inkonsistensi mencolok antara janji X kepada pengiklan tentang lingkungan yang aman, dan realita platform yang membiakkan engagement dari konten bermasalah. Prioritas X kayaknya lebih ke duit dari engagement, meskipun itu artinya kehilangan pengiklan-pengiklan gede.
Pengiklan menarik diri dari X karena lingkungan penuh permusuhan dan fitnah. Ini menunjukkan inkonsistensi X dalam menjaga 'brand safety' demi keuntungan dari engagement yang bermasalah.
Secara hukum, X itu punya tanggung jawab. Mereka dilindungi "safe harbor" (semacam perlindungan hukum), tapi kalau ada konten ilegal, mereka wajib hapus kalau dikasih tahu. Pertanyaannya, seberapa aktif sih X dalam ngebersihin platform? Atau mereka cuma gerak kalau ada tekanan gede atau pengiklan pada kabur? Ini juga nunjukkin inkonsistensi dalam menjalankan tanggung jawabnya.
---Semua ini bikin X ada di persimpangan jalan. Ini cerminan dari tarik-ulur antara ambisi kapitalisme digital yang ngejar untung dan kebutuhan kita akan ruang publik yang sehat dan bermartabat. Ketika duit bikin orang ngorbanin kebenaran, dan tanggung jawab platform dipertanyakan di bawah visi pemimpinnya, masa depan X sebagai sumber informasi yang bisa dipercaya jadi abu-abu.
Pertanyaan besarnya: Apakah X akan terus-terusan ngejar untung jangka pendek, ngorbanin kemaslahatan jangka panjang? Atau dia bakal nemuin lagi kompas moralnya di tengah badai inkonsistensi yang dia ciptain sendiri? Kita semua, sebagai pengguna dan bagian dari ekosistem digital ini, cuma bisa menunggu dan terus mengawasi.
Deddy K.