Dunia sedang menahan napas, atau mungkin lebih tepatnya, menahan tawa. Di bulan Juni 2025 yang panas ini, ketika aroma kopi pagi masih hangat di dapur-dapur kita, dan lalu lintas pagi mulai ramai, berita yang datang dari Timur Tengah terasa seperti skenario film blockbuster yang jadi nyata. Israel telah melancarkan serangan yang berani dan mematikan terhadap fasilitas nuklir Iran dan membunuh sejumlah perwira serta ilmuwan penting mereka. Respons tak terhindarkan itu pun tiba. Teheran melepaskan rentetan rudal. Bukan sekadar tembakan peringatan, bukan sekadar respons diplomatis. Ini adalah hujan besi ke jantung Israel, ke Tel Aviv yang gemerlap.
Dan di tengah kengerian yang seharusnya menyelimuti, ada suara aneh yang terdengar dari berbagai penjuru dunia. Bukan tangisan. Bukan ketakutan. Tapi semacam… kepuasan. Sebuah tawa pahit. "Akhirnya," bisik banyak orang, "akhirnya Iran membalaskan sakit hati dunia."
Mari kita jujur. Apa yang terjadi antara Iran dan Israel hari ini bukan lagi sekadar perseteruan lama dua musuh bebuyutan. Konflik yang meledak ini adalah puncak dari gunung es geopolitik. Ini adalah showdown yang sesungguhnya.
Bayangkan ini: Israel, bagi banyak pihak, adalah simbol. Simbol kekuatan Barat yang tak tergoyahkan di jantung Timur Tengah. Sebuah benteng yang dibangun dengan dukungan penuh Amerika Serikat, Inggris, dan sekutu-sekutu Barat lainnya. Bantuan militer yang tak terbatas, dukungan finansial yang tak putus, dan terutama, payung diplomatik yang tak pernah goyah di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jadi, ketika rudal-rudal Iran merobek langit Tel Aviv, itu bukan hanya tentang membalas dendam atas fasilitas nuklir yang hancur atau nyawa perwira yang hilang. Ini adalah pukulan telak ke wajah hegemoni Amerika dan Barat. Ini adalah pesan yang jelas: "Kalian tidak kebal. Kalian tidak bisa lagi bertindak semau kalian tanpa konsekuensi."
Ini adalah permainan catur geopolitik, dan Israel adalah benteng terdepan di papan catur Barat. Menyerang benteng itu berarti menantang raja yang ada di belakangnya. Ini adalah statement bahwa tatanan dunia lama yang didikte oleh Washington, London, dan Paris, sudah mulai rapuh. Bagi Iran, ini adalah upaya untuk mengikis pengaruh Barat, menunjukkan bahwa ada kekuatan lain yang mampu berdiri tegak dan melawan.
Kita tidak bisa bicara tentang konflik ini tanpa melihat siapa yang berdiri di belakang panggung, atau lebih tepatnya, siapa yang sekarang mulai berdiri tegak di samping Iran. Ada sebuah poros kekuatan baru yang terbentuk, sebuah aliansi yang mengancam untuk mengubah peta kekuatan global selamanya.
Rusia. Ingat bagaimana hubungan mereka menguat pasca-invasi Ukraina? Rusia, yang terkepung sanksi Barat, menemukan sekutu sejati di Iran. Drone Iran menjadi tulang punggung serangan Rusia di Ukraina, dan sebagai balasan, Iran menerima dukungan diplomatik, transfer teknologi militer canggih, dan kemungkinan besar, jaminan keamanan dari salah satu kekuatan nuklir terbesar dunia. Konflik di Timur Tengah ini? Itu adalah kesempatan emas bagi Rusia untuk mengalihkan perhatian Barat, menguras sumber daya mereka, dan menunjukkan bahwa hegemon AS punya saingan.
Lalu ada China. Raksasa Asia ini, dengan ambisi globalnya, adalah pemain yang cerdik. Mereka tidak akan terang-terangan berteriak "Hancurkan Barat!", tapi di balik layar, mereka memberikan dukungan ekonomi yang vital untuk Iran (minyak, ingat?). Bahkan, China yang memediasi normalisasi hubungan antara Iran dan Arab Saudi, sebuah langkah yang membuat Washington tercengang. China ingin dunia multipolar, dunia di mana mereka adalah superpower yang setara dengan AS, bukan di bawahnya. Konflik ini, yang menguras energi Barat, adalah tiket gratis mereka menuju posisi itu.
Jangan lupakan Pakistan. Negara Muslim dengan nuklir ini punya hubungan yang kompleks. Dulu sekutu AS, tapi sentimen anti-Barat dan pro-Palestina di Pakistan sangat kuat. Ada bisikan tentang kerja sama militer dengan Iran, atau setidaknya netralitas yang bersahabat. Kehadiran nuklir Pakistan dalam poros ini jelas membuat Barat berpikir dua kali.
Dan si nakal Korea Utara. Negara ini punya sejarah panjang dalam transfer teknologi rudal dengan Iran. Mereka sama-sama "anak nakal" yang diembargo Barat. Bagi Korut, melihat Iran berani menantang Israel dan AS adalah inspirasi dan penguatan narasi mereka sendiri. Dukungan mereka, meskipun mungkin lebih bersifat retoris atau teknologi, adalah bagian dari narasi besar penantangan terhadap tatanan yang ada.
Sinergi dari poros ini? Itu adalah game changer. Mereka menawarkan alternatif. Bagi negara-negara yang muak dengan dominasi Barat, poros ini adalah jalan keluar. Mereka bilang, "Kamu tidak harus tunduk pada Washington. Ada jalan lain." Ini bukan lagi cerita David vs. Goliath, tapi Goliath vs. Goliath dengan sepasukan David yang bersatu.
Melihat "keramaian" di kubu Iran, bagaimana reaksi kubu Barat? Amerika Serikat, Inggris, Prancis... mereka semua berada di kursi panas. Pertanyaannya bukan lagi "akankah mereka ikut campur?", melainkan "seberapa jauh mereka berani ikut campur?".
Kenyataannya, keterlibatan militer langsung AS dan sekutunya dalam perang skala penuh melawan Iran adalah mimpi buruk yang sangat ingin mereka hindari. Ini bukan lagi soal mengirim beberapa jet tempur atau pasukan khusus. Ini soal perang habis-habisan di wilayah yang sangat kompleks.
Risiko eskalasi? Luar biasa. Jika AS masuk, itu berarti menarik Hizbullah, Houthi, milisi di Irak dan Suriah untuk ikut bertempur. Ini akan jadi api yang membakar seluruh Timur Tengah. Dan jangan lupakan Rusia dan China. Apakah mereka akan diam saja melihat sekutu mereka di Iran dihajar? Sangat tidak mungkin. Dunia bisa terjerumus ke dalam perang global yang tak terbayangkan.
Beban ekonomi dan militer? AS masih mengucurkan miliaran dolar untuk Ukraina, dan mereka punya PR besar dengan China di Pasifik. Terlibat dalam perang di Timur Tengah akan menguras anggaran, memakan korban jiwa, dan menciptakan kelelahan perang domestik yang parah. Publik Amerika, setelah Afghanistan dan Irak, sudah muak dengan perang di luar negeri.
Jadi, Israel... ya, Israel mungkin memang harus berjuang "sendirian" dalam arti yang sesungguhnya. AS dan Barat tentu akan memberikan dukungan intelijen, pasokan senjata, dan mungkin bahkan bantuan logistik atau pertahanan rudal. Tapi mengerahkan pasukan darat dalam jumlah besar untuk bertempur langsung di garis depan? Itu adalah garis merah yang sangat tebal.
Israel, dengan segala kekuatan militernya, adalah negara yang sangat tangguh, tapi perang habis-habisan melawan Iran yang didukung poros baru adalah tantangan yang belum pernah mereka hadapi.
Ini adalah kalkulasi yang brutal: bagi AS, prioritas utamanya adalah menahan China. Perang di Timur Tengah adalah pengalih perhatian yang mahal dan berbahaya. Mereka mungkin terpaksa melihat Israel berdarah-darah, berharap konflik bisa diredakan tanpa keterlibatan langsung yang akan menarik mereka ke dalam rawa yang tak berujung.
Dan ini, mungkin, adalah bagian paling krusial dari semua ini: Gaza.
Anda tahu, luka yang menganga di Gaza, di mana setiap hari adalah tragedi, di mana puluhan ribu nyawa tak bersalah melayang, di mana rumah-rumah rata dengan tanah, di mana bantuan kemanusiaan diblokir, di mana anak-anak kelaparan dan mati di depan mata dunia. Semua ini terjadi, dan dunia melihat. Jelas sekali. Melalui video amatir, laporan wartawan, hingga rintihan aktivis kemanusiaan.
Dan di tengah semua itu, apa yang dilakukan Amerika Serikat? Mereka memveto. Lagi. Dan lagi. Setiap resolusi PBB yang mencoba menghentikan pembantaian, yang menuntut gencatan senjata, yang mengecam kekejaman, selalu kandas di tangan satu negara: Amerika Serikat. Demi Israel. Setiap kali, AS menggunakan hak vetonya, meskipun seluruh dunia berteriak.
Di sinilah kematian moral Israel terjadi. Bagi banyak orang, tindakan Israel di Gaza, yang mereka klaim sebagai pertahanan diri, telah melampaui batas kemanusiaan. Dan dunia tidak bisa menerima alasan itu lagi. Citra Israel, sebagai negara yang sah, pelindung diri, telah hancur.
Dan di sinilah ketidakpercayaan total terhadap Amerika Serikat tumbuh subur. Bagi miliaran orang di dunia, khususnya di Global South (Asia, Afrika, Amerika Latin), AS bukan lagi pembela hak asasi manusia atau demokrasi. AS hanyalah kekuatan militer yang membela kepentingannya sendiri dan sekutunya, bahkan dengan mengorbankan nyawa tak bersalah.
"AS hanya memiliki senjata saja," begitulah bisik-bisik yang semakin keras. Kekuatan lunak mereka, daya tarik nilai-nilai mereka, telah terkikis habis oleh dukungan tanpa syarat terhadap tindakan yang dianggap genosida oleh sebagian orang. Dunia melihat standar ganda ini: mengapa Rusia dikutuk keras atas Ukraina, tetapi Israel (dan AS) lolos begitu saja di Gaza?
Jadi, ketika rudal Iran menghujani Tel Aviv, dan ada suara tawa dari berbagai penjuru, itu adalah pembalasan kolektif. Itu adalah kepuasan melihat "si raksasa" yang selama ini tak tersentuh akhirnya merasakan perihnya. Ini adalah katharsis bagi mereka yang selama ini merasa tak berdaya dan tak didengar.
Dan di tengah semua drama ini, ada satu institusi yang nyaris tak relevan: Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ingat bagaimana PBB didirikan setelah Perang Dunia II, dengan janji "tidak akan pernah lagi"? Janji untuk mencegah perang, untuk melindungi yang lemah, untuk menegakkan hukum internasional. Sebuah tempat di mana negara-negara bersatu untuk mencari perdamaian.
Tapi apa yang kita lihat hari ini di Juni 2025? PBB lumpuh. Dewan Keamanan, yang seharusnya menjadi jantung pengambil keputusan, tercekik oleh veto. Veto AS. Selalu AS. Demi Israel.
Tak ada yang lagi berharap pada PBB. Benar-benar tidak ada. Bagi sebagian besar dunia, PBB hanyalah panggung sandiwara, sebuah forum debat yang indah tapi tak bergigi. Sebuah cangkang kosong yang tak mampu menghentikan pembantaian di Gaza, apalagi konflik yang lebih besar antara Iran dan Israel.
Ini adalah pukulan telak bagi konsep multilateralisme. Jika PBB, sebagai simbol kerja sama global, tak mampu bertindak adil karena kepentingan satu negara adidaya, maka mengapa negara-negara lain harus percaya padanya? Ini mempercepat fragmentasi dunia, mendorong negara-negara untuk mencari jalan sendiri, membangun aliansi baru, atau bahkan mengambil tindakan unilateral.
Jadi, di mana kita berdiri sekarang? Di dunia yang penuh ketidakpastian.
Konflik Iran-Israel adalah detonatornya. Ini bukan hanya perang kecil di sudut dunia. Ini adalah perang yang memperlihatkan keruntuhan hegemoni Barat, lahirnya poros kekuatan baru, dan hilangnya kepercayaan global pada institusi dan nilai-nilai yang selama ini diagungkan.
Suara tawa pahit yang terdengar dari berbagai penjuru dunia itu adalah sinyal. Sinyal bahwa dunia telah berubah. Bahwa orang-orang muak dengan ketidakadilan. Bahwa mereka tidak lagi percaya pada janji-janji kosong dan standar ganda.
Amerika Serikat memang memiliki senjata yang luar biasa. Angkatan bersenjata terkuat di planet ini. Tapi di era ini, ketika perang informasi dan persepsi moral menjadi sama pentingnya dengan kekuatan militer, apakah senjata saja cukup? Ketika teman-teman beranjak pergi, dan dukungan domestik terkikis, apakah kekuatan militer akan tetap relevan?
Mungkin kita sedang menyaksikan awal dari era baru. Era yang lebih multipolar, lebih terfragmentasi, dan mungkin, lebih berbahaya. Era di mana suara tawa pahit dari ribuan kilometer jauhnya bisa jadi lebih mematikan daripada ledakan rudal itu sendiri.
Dan pertanyaan besarnya adalah: setelah tawa itu mereda, apa yang akan tersisa? Dan siapa yang akan membangun kembali tatanan dunia yang baru?
Deddy K.