Beberapa waktu lalu, kita semua cukup bangga saat pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan, khususnya beras. Cadangan beras nasional ada di level tertinggi sepanjang sejarah, bahkan sampai bisa ekspor ke negara tetangga seperti Malaysia dan Jepang. Hebat, ya? Akhirnya kita bisa bilang, “Kita enggak ngemis-ngemis lagi untuk makan nasi sendiri.”
Tapi belum sempat euforia itu benar-benar reda, muncul lagi ambisi baru: swasembada energi. Kali ini targetnya bukan sekadar soal dapur, tapi tentang bensin, solar, avtur, dan segala jenis bahan bakar yang bikin kendaraan dan pabrik kita tetap hidup. Pertanyaannya, apakah kita sanggup? Bisa enggak Indonesia mandiri dalam hal BBM?
Kita sering bicara tentang pangan sebagai kebutuhan pokok. Tapi jangan lupakan: energi adalah tulang punggung ekonomi. Tanpa energi, pertanian enggak bisa jalan, industri lumpuh, logistik berhenti, dan bahkan YouTube kamu pun enggak bisa diputar.
Indonesia memang negara yang kaya sumber daya energi, mulai dari minyak bumi, gas alam, batu bara, sampai energi terbarukan seperti panas bumi dan tenaga surya. Tapi sayangnya, selama ini yang terjadi malah sebaliknya. Kita lebih sering jadi pelanggan setia negara lain, terutama untuk BBM.
“Negara kita luas, sumber dayanya melimpah. Tapi sayangnya kita belum bisa olah sendiri. Impor BBM terus-terusan, sampai jadi kebiasaan.”
— Pengamat energi nasional
Kamu mungkin sudah tahu dari artikel sebelumnya, bahwa sebagian besar BBM yang kita konsumsi berasal dari impor, dan mayoritasnya dari Singapura. Negara kecil itu menjadi “keran minyak” buat Indonesia, karena kilang mereka modern, logistiknya rapi, dan sistem perdagangannya sangat efisien.
Tapi di sisi lain, kondisi ini bikin Indonesia rentan. Karena ketika kita terlalu bergantung pada negara lain, kita kehilangan kendali. Kalau tiba-tiba harga minyak naik, dolar menguat, atau pasokan tersendat karena krisis geopolitik, kita yang kelabakan.
“Bayangin aja, kalau besok ada konflik dan pasokan dari luar terganggu, Indonesia bisa lumpuh. Cadangan BBM kita cuman cukup buat 21 hari.”
— Video Benix, 2025
Cerita tentang keberhasilan Indonesia swasembada beras bisa jadi inspirasi buat urusan energi. Dulu, kita juga bergantung pada impor beras. Bahkan sempat ada masa di mana setiap musim tanam gagal, negara panik karena stok pangan defisit.
Tapi kemudian pemerintah ambil langkah serius: perbaiki sistem pertanian, tingkatkan produktivitas, bangun infrastruktur irigasi, dan yang terpenting—berani ambil keputusan tidak populer demi kemandirian.
Akhirnya sekarang kita panen prestasi. Jadi kalau bisa untuk beras, kenapa enggak untuk BBM juga?
Tentu saja, tantangannya jauh lebih besar. Suasembada energi bukan hal yang bisa selesai dalam semalam. Berikut beberapa tantangan utamanya:
Pemerintah saat ini sedang menggandeng investor asing seperti Rosneft dari Rusia untuk membangun kilang baru di Tuban. Proyek ini diperkirakan bisa menghasilkan 1 juta barel per hari kalau berjalan lancar.
Kalau proyek ini berhasil, maka kebutuhan BBM nasional bisa dipenuhi hingga 80% dari produksi dalam negeri. Tapi tentu saja, kita harus pastikan pengelolaannya tidak jadi lahan korupsi dan proyek mangkrak.
“Kalau kita bangun kilang baru tapi tetap dikelola dengan cara lama, hasilnya ya tetap sama. Harus ada reformasi dari dalam.”
— Pakar kebijakan publik energi
Kalau kita ingin swasembada energi jadi nyata, berikut langkah-langkah yang menurut banyak analis wajib diambil:
Selain itu, Indonesia juga sedang mendorong pemanfaatan biofuel, khususnya program B35 dan B40—yakni pencampuran 35–40% minyak nabati ke dalam bahan bakar diesel. Program ini tidak hanya bertujuan mengurangi ketergantungan pada impor solar, tapi juga meningkatkan nilai tambah sektor perkebunan dalam negeri. Hingga awal 2025, implementasi B35 sudah berjalan nasional, sementara B40 masih dalam tahap uji coba dan penyempurnaan. Jika berhasil, biofuel bisa menjadi salah satu solusi jangka menengah yang realistis dalam transisi menuju kemandirian energi.
Pemerintah juga sudah mulai membuka kemungkinan untuk menggunakan dana dari lembaga pembiayaan strategis seperti Danantara, yang dibentuk sebagai Sovereign Wealth Fund Indonesia. Lembaga ini punya potensi untuk membantu pendanaan proyek-proyek besar termasuk infrastruktur energi.
“Dengan dukungan Danantara, proyek energi strategis seperti kilang minyak bisa mendapat pembiayaan jangka panjang tanpa terlalu membebani APBN.”
— Kementerian Keuangan, 2024
Swasembada energi bukan cuma urusan pemerintah. Masyarakat juga punya peran besar. Mulai dari gaya hidup hemat energi, mendukung transisi ke kendaraan listrik, hingga mendorong diskusi publik yang sehat soal arah kebijakan energi nasional.
“Kalau kita terus beli BBM dari luar, uang rakyat tiap hari lari ke luar negeri. Padahal bisa dipakai buat bangun negeri sendiri.”
— Aktivis energi, wawancara publik
Swasembada energi bukan mimpi yang mustahil. Tapi butuh keseriusan, konsistensi, dan keberanian untuk mengambil langkah-langkah besar. Kita sudah buktikan bisa di sektor pangan. Sekarang saatnya tantang diri kita sendiri: bisa enggak kita mandiri juga dalam hal energi?
Jawabannya ada di kita semua. Di setiap kebijakan yang didorong, di setiap proyek yang diawasi, dan di setiap liter bensin yang kita pilih konsumsi.
Kalau kamu masih percaya bahwa Indonesia bisa berdiri di atas kakinya sendiri, maka percaya juga bahwa kemandirian energi bukan sekadar wacana—tapi keniscayaan. Asal kita mau.