Pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto telah mengusung agenda besar: efisiensi anggaran secara signifikan. Targetnya tidak main-main, mencapai Rp750 triliun secara bertahap. Bahkan, untuk Tahun Anggaran 2025, sudah ada instruksi Presiden (Inpres) 1/2025 yang menggulirkan tahap awal sebesar Rp300 triliun.
Dana yang dihemat ini rencananya akan dialokasikan untuk program-program prioritas, seperti program makan bergizi gratis dan investasi vital lainnya. Namun, muncul pertanyaan krusial: bagaimana efisiensi anggaran ini akan memengaruhi daya beli masyarakat? Apakah penghematan ini akan jadi angin segar atau justru tantangan bagi kantong kita?
---Konsep efisiensi dalam pemerintahan itu bagus. Itu berarti negara ingin menggunakan uang rakyat secara lebih bijak, menghindari pemborosan, dan memastikan setiap rupiah punya dampak maksimal. Namun, di sisi lain, ada dinamika ekonomi yang perlu diperhatikan, yaitu perputaran uang.
Dalam ekonomi, ada yang namanya efek pengganda atau multiplier effect. Ini seperti efek domino. Ketika pemerintah membelanjakan uang, uang itu tidak berhenti di satu tangan, tapi terus berputar, menciptakan pendapatan tambahan bagi banyak pihak. Misal, ada proyek pembangunan, kontraktor dapat uang, lalu bayar pekerja. Pekerja belanja kebutuhan sehari-hari, warung dan toko dapat uang, dan seterusnya. Ini membuat satu rupiah belanja bisa menciptakan beberapa rupiah aktivitas ekonomi.
Jika efisiensi anggaran hanya berarti menahan uang dan tidak mengalirkannya kembali ke perekonomian melalui belanja atau investasi, maka potensi efek pengganda ini bisa hilang begitu saja.
Bayangkan begini: jika target efisiensi Rp750 triliun itu berhasil dan dananya benar-benar dialokasikan ke program-program yang memicu aktivitas ekonomi (seperti program makan bergizi gratis yang akan menciptakan permintaan bahan pangan dan menggerakkan petani, atau investasi infrastruktur yang menciptakan lapangan kerja), maka daya beli masyarakat akan terangkat. Kenapa? Karena program-program itu akan langsung menyuntikkan uang ke masyarakat, baik dalam bentuk pendapatan (gaji, keuntungan) atau pengurangan beban pengeluaran (misal, tidak perlu beli makan siang).
---Ini adalah skenario ideal. Jika Rp750 triliun hasil efisiensi ini disalurkan secara efektif ke program-program yang langsung menyentuh masyarakat, seperti:
Dalam skenario ini, efisiensi bukan cuma penghematan, tapi adalah realokasi dana yang cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya beli.
Nah, ini yang perlu diwaspadai. Jika efisiensi dimaknai sebagai pengetatan ikat pinggang yang berlebihan sampai program-program yang seharusnya berjalan jadi tertunda atau bahkan dibatalkan, maka dampaknya bisa negatif bagi daya beli.
Target efisiensi Rp750 triliun dari Presiden Prabowo bukanlah sekadar angka. Ini adalah kesempatan emas untuk merancang ulang anggaran negara agar lebih efektif dan berdampak langsung pada masyarakat. Kuncinya ada pada bagaimana dana hasil efisiensi ini akan digunakan kembali.
Jika pemerintah berhasil mengalokasikan kembali dana tersebut ke program-program yang produktif, yang secara langsung meningkatkan pendapatan atau mengurangi beban pengeluaran rakyat, maka efisiensi ini akan menjadi berkah bagi daya beli masyarakat.
Percepatan realisasi belanja negara dan investasi korporasi pada program-program prioritas menjadi sangat krusial. Ini bukan hanya tentang memenuhi target, tetapi memastikan bahwa uang rakyat bekerja maksimal untuk kesejahteraan bersama.
Mari kita berharap efisiensi ini bukan hanya tentang penghematan, tapi juga tentang optimalisasi—memastikan bahwa setiap rupiah yang dihemat akan digunakan untuk memicu pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan meningkatkan daya beli seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Mari kita bayangkan sejenak sebuah kota kecil bernama Kota Makmur Jaya (Kota M). Penduduknya sekitar 150.000 jiwa, sebagian besar hidup dari pertanian. Rutinitas harian mereka didominasi suara traktor di sawah dan aktivitas di pasar tradisional. Namun, di balik ketenangan itu, ada tantangan: harga komoditas fluktuatif, irigasi kurang modern, dan akses pasar terbatas yang sering menekan pendapatan petani. Mereka butuh suntikan "darah segar" ekonomi.
Suatu pagi, kabar gembira datang dari pemerintah pusat: Kota Makmur Jaya bakal dapat suntikan dana belanja pemerintah sebesar Rp100 miliar! Dana ini dialokasikan khusus untuk program-program pertanian: Rp40 miliar buat pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi, Rp30 miliar untuk bibit unggul dan pupuk bersubsidi, Rp15 miliar buat pelatihan pertanian modern, dan Rp15 miliar lagi untuk peningkatan infrastruktur jalan desa ke sentra produksi.
---Dalam hitungan minggu, Rp100 miliar itu mulai mengalir. Proyek irigasi langsung jalan. Perusahaan konstruksi lokal, PT Jaya Karya Mandiri, menang tender dan langsung rekrut ratusan pekerja dari Kota M dan desa sekitarnya. "Akhirnya ada kerjaan lagi!" seru Joni, seorang buruh bangunan yang sempat nganggur.
Gaji Joni langsung dia belanjakan di pasar. Dia beli beras, lauk-pauk, kebutuhan sehari-hari buat keluarganya. Ibu Fatimah, pemilik warung kelontong, langsung merasakan peningkatannya. "Biasanya sepi, sekarang lumayan ramai pembeli," senangnya.
Di saat yang sama, program bibit unggul dan pupuk bersubsidi juga terealisasi. Pak Budi dan petani lainnya bisa dapat bibit padi berkualitas dan pupuk murah. Ini mengurangi biaya produksi mereka drastis. Uang yang tadinya buat bibit dan pupuk, sekarang bisa dialihkan buat kebutuhan lain atau ditabung. Lihat? Uang itu langsung berputar.
---Dampak Rp100 miliar ini tidak berhenti di gelombang pertama. Inilah yang namanya efek pengganda atau multiplier effect. Ini adalah cara kita melihat seberapa jauh dan seberapa besar dampak satu rupiah belanja pemerintah terhadap aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Sederhananya, ketika pemerintah mengeluarkan uang, uang itu tidak cuma mampir di satu tangan, tapi terus berputar, menciptakan pendapatan tambahan bagi banyak pihak.
Untuk Kota Makmur Jaya, mari kita asumsikan Marginal Propensity to Consume (MPC)-nya 0,7. Artinya, dari setiap tambahan pendapatan, 70% akan dibelanjakan lagi dan 30% akan ditabung atau keluar dari siklus lokal.
Secara teori, Rp100 miliar belanja pemerintah di Kota Makmur Jaya berpotensi menghasilkan peningkatan total aktivitas ekonomi (PDRB atau pendapatan) sebesar:
Rp100 miliar x 3.33 = Rp333 miliar
Nah, bayangkan jika itu Rp750 Triliun, seperti target efisiensi yang dicanangkan. Potensi efek penggandanya bisa mencapai triliunan rupiah dan akan terasa dampaknya di seluruh Indonesia!
Jika 750 Triliun penghematan tidak segera beredar di masyarakat dalam bentuk belanja negara maka sama dengan 3000 triliun uang tidak jadi beredar!