Politik

Nasib Swasembada Beras Jika Petani Tetap Miskin

Di bentangan zamrud khatulistiwa, di mana padi menari ditiup angin sepoi, sebuah asa besar kini kian nyata: swasembada beras. Bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan napas kehidupan bagi jutaan jiwa. Pencapaian gemilang ini, yang kini menjadi kebanggaan, sejatinya adalah buah manis dari tetes keringat, kebijakan visioner, dan upaya masif yang telah ditabur selama satu dekade terakhir. Bak membangun candi peradaban, fondasinya diletakkan dengan gigih, satu demi satu.

Merajut Asa dari Tanah: Investasi Infrastruktur Pertanian

Sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan geliat pembangunan infrastruktur pertanian yang luar biasa. Ibarat nadi kehidupan, jaringan irigasi direhabilitasi dan dibangun besar-besaran, mengalirkan air jernih ke setiap petak sawah yang haus. Dari bendungan raksasa yang membendung air hujan, hingga embung-embung kecil yang menjadi oase di musim kemarau, air kini tak lagi menjadi sekadar harapan, melainkan jaminan. Jutaan hektar lahan kini terairi dengan lebih baik, memungkinkan petani untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP), dari sekali panen menjadi dua atau bahkan tiga kali dalam setahun.

Angka-angka bicara: dari 2014 hingga 2024, Kementerian PUPR telah membangun lebih dari 1,2 juta hektar jaringan irigasi baru dan merehabilitasi lebih dari 4,6 juta hektar jaringan yang sudah ada. Puluhan bendungan baru menjulang perkasa, menampung miliaran meter kubik air, memastikan pasokan tak terputus. Ini bukan hanya tentang beton dan baja; ini tentang kepastian air, yang bagi petani adalah denyut nadi kehidupan, pupuk paling berharga, dan janji akan panen melimpah. Produktivitas lahan melonjak, panen pun berlimpah. Inilah fondasi kokoh yang telah memungkinkan Indonesia mencapai posisi surplus beras, memetik buah dari investasi besar dalam memajukan pertanian.

Perjalanan yang Belum Usai: Tantangan dan Perbaikan Berkelanjutan

Namun, perjalanan menuju kemandirian pangan sejati tak ubahnya mendaki puncak gunung yang tinggi. Setelah satu puncak terlampaui, puncak-puncak lain dengan tantangan berbeda telah menanti. Swasembada beras yang kini di genggaman, membutuhkan perawatan dan penyempurnaan di berbagai lini, agar keberlanjutannya tak lekang oleh waktu.

Pupuk dan Pestisida: Napas Lahan Pertanian

Ketersediaan dan harga pupuk dan pestisida adalah persoalan klasik yang sangat memengaruhi produktivitas dan kesejahteraan petani di Indonesia. Petani membutuhkan pasokan yang cukup, tepat waktu, dan dengan harga yang terjangkau. Pemerintah telah berupaya keras dengan menaikkan alokasi pupuk bersubsidi secara signifikan hingga 9,55 juta ton pada 2025 dan menyederhanakan mekanisme penebusan dengan hanya menggunakan KTP. Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi pun dipertahankan, sebagai jaring pengaman agar petani tidak tercekik biaya produksi.

Namun, realitas di lapangan kadang bicara lain. Kendala distribusi, disparitas harga di luar HET, dan tantangan bagi petani yang tidak masuk dalam skema subsidi, masih menjadi pekerjaan rumah. Begitu pula dengan pestisida, ketersediaan dan aksesnya harus dipastikan agar tanaman terhindar dari hama dan penyakit yang merusak. Tantangan ini bukan hanya soal logistik, melainkan juga tentang keadilan akses bagi setiap tangan yang mengolah tanah.

Jaminan Pembelian dan Harga yang Menguntungkan: Secercah Harapan bagi Petani

Jaminan pembelian hasil panen dan harga yang menguntungkan bagi petani adalah kunci utama untuk menjaga semangat mereka. Di sinilah peran Bulog menjadi sangat vital. Dengan mandatnya untuk membeli gabah/beras sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) (saat ini HPP GKP di petani Rp 6.500/kg), Bulog diharapkan menjadi penyangga utama saat panen raya agar harga tidak anjlok.

Namun, di sini pula muncul tantangan besar:

  • Kapasitas Penyerapan dan Gudang Bulog: Meskipun stok Bulog kini memecahkan rekor (mencapai 4 juta ton lebih per awal Juni 2025), kapasitas penyerapan dan gudang Bulog terbatas. Bulog tidak bisa menyerap semua hasil panen nasional. Ini membuka celah bagi pihak lain.
  • Disparitas Harga: Harga pembelian Bulog yang terikat HPP kadang kalah bersaing dengan harga pasar yang ditawarkan pedagang, terutama saat harga pasar naik. Petani akan memilih menjual ke pihak yang memberi harga lebih tinggi.

Bayang-bayang Ancaman: Jerat Mafia Beras

Di tengah semua upaya dan tantangan ini, bayangan ancaman lain yang jauh lebih licik senantiasa mengintai: mafia beras. Inilah parasit yang selalu mencari celah dalam rantai pasok, demi keuntungan pribadi yang menggunung, seringkali di atas penderitaan petani dan konsumen. Isu mafia yang ingin mendorong impor beras, bahkan di tengah melimpahnya stok Bulog, adalah bukti nyata bagaimana mereka bekerja.

Modus Operandi Mafia Beras:

Bagaimana mafia ini bekerja untuk mendorong impor meskipun stok Bulog besar? Mereka tidak akan secara langsung mengatakan "kami ingin impor". Cara kerjanya lebih halus dan manipulatif, dengan tujuan akhir menciptakan kondisi pasar yang seolah-olah membutuhkan impor, sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan besar dari selisih harga.

  1. Manipulasi Data dan Kelangkaan Semu: Ini adalah seni menipu pasar. Mafia diduga memanipulasi data masuk dan keluar beras di pasar-pasar induk seperti Cipinang. Mereka bisa saja melaporkan volume keluar yang fantastis (seperti temuan Mentan beberapa waktu lalu, ada lonjakan pengeluaran beras yang tidak wajar hingga lebih dari 11 ribu ton dalam sehari), padahal itu data fiktif atau pengeluaran yang tidak sesuai peruntukannya. Tujuannya? Menciptakan persepsi kelangkaan buatan di pasar. Ketika stok di pasar terlihat menipis, harga beras di tingkat konsumen akan melonjak. Ini adalah sinyal palsu yang mereka ciptakan agar pemerintah terdorong untuk membuka keran impor.
  2. Penimbunan Beras: Modus klasik namun efektif. Saat panen raya, ketika harga gabah di petani cenderung rendah, mafia membeli dalam jumlah besar. Beras ini kemudian ditimbun di gudang-gudang rahasia, menanti saat pasokan mulai menipis dan harga naik. Saat itulah mereka melepaskan stok timbunan ini ke pasar dengan harga yang jauh lebih tinggi.
  3. Praktik Ijon dan Utang kepada Petani: Ini adalah cara mafia atau tengkulak berjejaring dengan petani di tingkat paling dasar. Praktik ijon dan pemberian pinjaman uang kepada petani seringkali memang bertujuan untuk membeli hasil panen mereka dengan harga yang sangat murah. Petani kecil, dengan keterbatasan akses modal formal, terpaksa meminjam uang dari tengkulak/pengijon untuk biaya tanam atau kebutuhan hidup. Sebagai syarat pinjaman, petani harus berjanji menjual hasil panennya kepada pengijon dengan harga yang sudah dipatok jauh di bawah harga pasar saat panen, atau bahkan di bawah HPP. Petani, yang sudah terikat utang, tidak punya posisi tawar. Ini menciptakan siklus utang yang membelit dan melanggengkan praktik pembelian murah.
  4. Mendorong Kebijakan Impor: Setelah kelangkaan dan kenaikan harga berhasil diciptakan di pasar domestik, mafia akan gencar menghembuskan isu bahwa Indonesia butuh impor beras. Mereka melihat harga beras di pasar internasional yang mungkin lebih rendah sebagai peluang emas. Begitu keran impor dibuka dan mereka mendapatkan jatah atau terlibat dalam distribusinya, keuntungan besar pun diraup dari selisih harga.

Melanggengkan Swasembada: Merajut Asa untuk Masa Depan Petani

Kelestarian swasembada beras, di atas segala investasi infrastruktur, pada akhirnya sangat bergantung pada kemakmuran dan keberlanjutan sektor petani itu sendiri. Inilah jiwa dari pertanian kita. Namun, data bicara: rata-rata pendapatan bersih petani skala kecil masih jauh di bawah garis kemiskinan dan Upah Minimum Provinsi. Mereka adalah pahlawan pangan yang kerap terlupakan.

Maka, agar swasembada beras bisa langgeng dan menarik minat generasi muda, memang harus ada peningkatan signifikan dalam kesejahteraan petani, termasuk:

  • Jumlah Petani dan Regenerasi: Jika profesi petani tidak menjanjikan kemakmuran, generasi muda akan enggan terjun ke sektor pertanian. Ini adalah ancaman nyata, karena jumlah petani di Indonesia terus menurun. Swasembada tanpa petani adalah ilusi belaka.
  • Permodalan Petani: Akses permodalan yang mudah, murah, dan adil adalah kunci. Program KUR harus semakin dipermudah, koperasi petani harus diperkuat, dan skema pembiayaan inovatif (fintech agrikultur) harus terus dikembangkan agar petani tidak lagi terjerat ijon.
  • Teknologi Pertanian: Modernisasi pertanian, penggunaan benih unggul, alat mesin pertanian (alsintan), dan praktik budidaya yang efisien dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya, sehingga meningkatkan keuntungan petani.
  • Harga Jual yang Stabil dan Adil: Penjaminan harga jual gabah/beras yang menguntungkan bagi petani melalui Bulog dan pengawasan ketat terhadap praktik kartel dan manipulasi harga oleh mafia adalah mutlak diperlukan.
  • Luas Sawah yang Teririgasi: Investasi dalam irigasi harus terus dilanjutkan dan dipelihara. Setiap petak sawah yang terairi adalah jaminan panen, jaminan kehidupan.
  • Diversifikasi Pendapatan Petani: Mendorong petani untuk tidak hanya bergantung pada satu komoditas, tetapi juga mengembangkan usaha lain atau mengolah hasil panen menjadi produk bernilai tambah, akan meningkatkan ketahanan ekonomi mereka.

Swasembada beras bukan hanya soal angka produksi, melainkan sebuah ekosistem kehidupan yang harus dijaga. Ia adalah cerminan dari kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyatnya. Untuk melanggengkan anugerah ini, kita harus terus membangun, merawat, dan memastikan bahwa setiap tangan yang mengolah tanah merasakan kemakmuran yang adil. Hanya dengan begitu, anak-anak muda akan kembali melirik sawah sebagai masa depan, dan asa swasembada akan terus mekar di bumi pertiwi. Akankah kita membiarkan ironi ini terus berlanjut?


Deddy K.


Monthly Top