Janji 19 juta lapangan kerja selama lima tahun ke depan. Sebuah angka yang mencengangkan, ambisius, dan tentu saja, sangat menggoda. Bayangkan, itu berarti rata-rata 3,8 juta pekerjaan baru setiap tahun. Jika kita ibaratkan sebuah tim sepak bola, ini bukan lagi sekadar mencetak gol, tapi seperti harus mencetak hat-trick di setiap pertandingan selama lima musim berturut-turut. Pertanyaannya, seberapa realistiskah target setinggi langit ini di tengah lapangan permainan ekonomi yang terus berubah, bahkan sering kali diguncang badai geopolitik? Mari kita bedah bersama.
Secara teori ekonomi, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara seharusnya sejalan dengan penciptaan lapangan kerja. Ibarat pohon yang subur, pasti akan menghasilkan lebih banyak buah. Di Indonesia, data historis BPS menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sekitar 400.000 hingga 450.000 tenaga kerja. Ini terdengar menjanjikan.
Namun, di sinilah letak kerumitannya. Hubungan ini tidak selalu linier. Bayangkan, 1% pertumbuhan PDB Indonesia yang saat ini PDB-nya sekitar Rp 22.000 triliun, itu setara dengan penambahan sekitar Rp 220 triliun dalam nilai ekonomi negara kita. Nah, apakah penambahan Rp 220 triliun itu otomatis menciptakan jumlah pekerjaan yang sama setiap kali? Belum tentu.
Para ekonom menyebutnya elastisitas penyerapan tenaga kerja. Di Indonesia, elastisitas ini cenderung in-elastis, bahkan ada tren menurun. Artinya, persentase peningkatan PDB yang kita capai belakangan ini menyerap persentase tenaga kerja yang lebih kecil dibandingkan di masa lalu. Mengapa begitu? Karena ekonomi kita mungkin semakin padat modal, semakin mengandalkan teknologi, atau pergeseran sektornya tidak lagi sepadat karya sebelumnya.
Jadi, ibaratnya, untuk mendapatkan buah yang sama, kita butuh pupuk (pertumbuhan PDB) yang makin banyak, atau bahkan jenis pupuk yang berbeda. Pertumbuhan haruslah "padat karya" atau "inklusif", bukan hanya pertumbuhan angka semata.
Ini berarti pertumbuhan harus ditopang oleh sektor-sektor yang memang punya daya serap tenaga kerja tinggi, bukan hanya investasi besar di industri otomatisasi tinggi yang pekerjanya sedikit.
Untuk mencapai target 19 juta pekerjaan, pemerintah tentu punya "resep" andalannya. Mari kita intip dapur kebijakannya:
Meski pemerintah sibuk meramu kebijakan, menciptakan 19 juta lapangan kerja bukan hanya urusan pemerintah. Peran sektor swasta itu mutlak vital! Pemerintah hanya bisa menciptakan iklim yang kondusif. Dana pemerintah untuk belanja juga terbatas. Kita ambil contoh, belanja pemerintah 10 miliar Dolar AS (sekitar Rp 160 triliun) dengan angka pengganda yang optimistis (1,5) hanya akan meningkatkan PDB sekitar 1,1%. Angka ini jauh dari target 5% pertumbuhan ekonomi yang kita butuhkan.
Jadi, bola sebenarnya ada di tangan swasta. Investasi dari perusahaan-perusahaan swasta, baik lokal maupun asing, itulah mesin pencipta pekerjaan sesungguhnya. Pemerintah harus bisa "merayu" dan memfasilitasi mereka untuk berinvestasi besar-besaran, membuka pabrik, memperluas usaha, dan merekrut karyawan baru.
Namun, kemampuan ini diuji berat oleh situasi internasional yang penuh gejolak:
Semua gejolak ini meningkatkan risiko dan ketidakpastian bagi investasi di Indonesia, bisa memperlemah Rupiah lebih jauh, dan memicu inflasi, sehingga semakin menyulitkan upaya penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Inilah inti masalah yang paling krusial: ketidaksesuaian antara jenis lapangan kerja yang muncul dan keterampilan pencari kerja (skills mismatch).
Masalahnya, jumlah pencari kerja yang memiliki keterampilan canggih dan spesifik seperti ini masih sangat terbatas di Indonesia. Sementara itu, jutaan pengangguran kita, khususnya lulusan SMK dan SMA (dengan TPT 9,01% dan 7,05% per Agustus 2024) atau kaum muda (15-19 tahun dengan TPT 28,77%), justru tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengisi lowongan-lowongan baru tersebut. Ini adalah pengangguran struktural—ada pekerjaan, tapi orangnya tidak cocok.
Sektor tradisional seperti penjualan, staf administratif, layanan pelanggan, dan hospitality memang masih memiliki volume lowongan yang tinggi. Sementara pertanian dan perkebunan tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar, meski tantangannya adalah bagaimana memodernisasi dan menciptakan pekerjaan yang lebih berkualitas di sana.
Janji penciptaan 19 juta lapangan kerja dalam lima tahun adalah target yang sangat ambisius, bahkan cenderung sangat sulit direalisasikan sepenuhnya jika kita melihat data historis, tren ekonomi global, dan dinamika pasar kerja kita saat ini. Angka rata-rata 3,8 juta pekerjaan per tahun jauh melampaui capaian terbaik kita.
Bukan berarti tidak ada pekerjaan yang akan tercipta. Tentu saja akan ada. Namun, mencapai angka sebesar itu membutuhkan:
Tanpa perubahan fundamental yang sangat drastis dan berkelanjutan di semua lini ini, termasuk kolaborasi kuat antara pemerintah, swasta, dan institusi pendidikan, Indonesia kemungkinan besar akan menghadapi tantangan pengangguran struktural yang signifikan, di mana banyak lowongan kerja baru tidak dapat terisi karena kurangnya keterampilan yang sesuai, sementara banyak pekerja kehilangan pekerjaan lama mereka karena otomatisasi. Janji ini mungkin berfungsi lebih sebagai pendorong ambisi ketimbang target yang sepenuhnya bisa dicapai dalam waktu singkat di tengah kondisi global yang tidak menentu. Kita semua berharap, semoga upaya ini membuahkan hasil terbaik bagi angkatan kerja Indonesia.