Keuangan

Perang Iran - Israel Jadi Bumerang, China Makin Untung USA Buntung

Dunia terperangah. Timur Tengah sekali lagi menjadi medan api, kali ini dengan Israel dan Iran di garis depan. Ledakan, rudal, dan tangisan kepedihan mengisi berita utama. Namun, jangan tertipu oleh panggung utama ini. Apa yang Anda saksikan hanyalah tirai tipis yang menyembunyikan pertarungan sejati: perang brutal antara Amerika Serikat dan Tiongkok untuk menguasai takdir ekonomi global.

Ini bukan konflik biasa. Ini adalah taktik nekat Washington untuk menyelamatkan dirinya dari kehancuran finansial. AS terjerat utang yang membengkak, mencapai lebih dari $37 triliun. Pembayaran bunganya saja sudah melumpuhkan anggaran negara. Para investor raksasa, yang memegang kendali pasar global, mulai panik. Mengapa mereka harus terus membeli obligasi AS ketika angka-angka di atas kertas sudah tidak masuk akal?

Untuk mempertahankan kekuasaan dolar, Amerika punya satu kartu mati: menciptakan ketakutan. Mereka harus meyakinkan dunia bahwa AS adalah satu-satunya tempat aman di tengah badai, bahwa setiap wilayah lain di ambang kekacauan, dan bahwa militer AS bisa menghancurkan siapa pun yang berani melawan. Ini bukan teori konspirasi, ini adalah pola yang terulang.

Ingat saat The Fed menaikkan suku bunga pada Maret 2022? Hanya beberapa hari kemudian, Rusia menginvasi Ukraina. Sebuah "kebetulan" yang memicu gelombang kepanikan global. Lebih dari €400 miliar lari ke aset AS. Industri Jerman, tulang punggung Eropa, hancur lebur. Pabrik-pabrik pindah, sebagian ke AS, tapi ironisnya, banyak juga yang langsung ke Tiongkok. Washington marah besar, menuduh Tiongkok "numpang gratis" di atas penderitaan orang lain.

Atau lihat kembali awal 1999, saat Euro baru saja menguat. Apa yang terjadi? AS dan NATO membombardir Serbia dalam konflik Kosovo. Euro langsung anjlok hampir 30%, dan ratusan miliar Euro kabur ke obligasi AS. Ini bukan sekadar sejarah, ini adalah cetak biru operasi keuangan terselubung.


Bumerang yang Menghancurkan: AS Terjebak Perhitungan Sendiri

Namun, bahkan di tengah perang, ada batas yang ditarik oleh Wall Street. Israel bisa saja menghancurkan Pulau Kharg, nadi ekspor minyak Iran. Itu akan melumpuhkan ekonomi Iran. Tapi risikonya? Harga minyak global akan melambung menjadi $300 atau $400 per barel. Inflasi akan meledak di seluruh dunia. The Fed terpaksa menaikkan suku bunga lagi, mendorong utang AS ke jurang kematian. Washington tidak akan berani mengambil risiko itu.

Maka, di balik pintu tertutup, target-target serangan dipilih dengan presisi yang brutal, hanya demi kepentingan finansial. Prioritas utama adalah melindungi kepercayaan investor pada obligasi AS. Tapi kepercayaan itu sudah retak. Peringkat kredit AS sudah diturunkan pada 2023. Fundamental ekonomi makin lemah. Dolar masih tegak, ya, tapi karena didukung oleh kekuatan militer brutal AS yang sengaja memproyeksikan kekacauan. Ini cara AS berteriak ke dunia: "Taruh uangmu di sini, bukan karena kami kuat, tapi karena kami bisa membakar sisanya sesuka hati!"

Kecuali, satu tempat yang tidak bisa mereka sentuh: Tiongkok.

Amerika mati-matian mencoba mengulang taktik lamanya: menciptakan kekacauan, memicu kepanikan, dan memaksa modal serta pabrik keluar dari Tiongkok, kembali ke AS. Mereka sudah mencoba segalanya: demo Hong Kong, isu Xinjiang dan Tibet, mempersenjatai Taiwan, ketegangan di Laut Cina Selatan, memprovokasi India, memicu konflik Filipina-Tiongkok.

Semuanya GAGAL.

Tiongkok menolak untuk terbakar. Tiongkok berdiri kokoh. Tidak ada perang saudara, tidak ada perang proksi, tidak ada negara gagal. Hanya ketenangan yang menakutkan bagi Washington. Bahkan konflik India-Pakistan, yang didukung AS, gagal meningkat berkat intervensi cepat Tiongkok. Di Asia, perang tidak akan membesar. Mengapa? Karena Tiongkok secara diam-diam menjaga batas.

Tiongkok tahu persis strategi AS: memprovokasi ketidakstabilan untuk menuai modal dan manufaktur. Tapi Tiongkok sudah siap dengan senjatanya: sistem rudal dan perang elektronik paling canggih, pasar domestik raksasa, sistem politik terpadu, dan kemampuan militer yang bisa mencegah siapa pun berani macam-macam. Tiongkok tidak akan jatuh ke dalam perangkap itu. Dan selama Tiongkok/Asia stabil, modal tidak akan lari ke obligasi AS seperti dulu.

Ini adalah pertaruhan terbesar: hancurkan Tiongkok, selamatkan dolar. Tapi ini TIDAK BERHASIL. Tiongkok terlalu stabil, terlalu maju, terlalu penting. Sanksi gagal. Pengepungan gagal. Propaganda gagal.


AS Terjebak, Tiongkok Tersenyum Menang

Jadi, sekali lagi, Washington kembali ke kartu mati terakhirnya: Israel.

Ini bukan tentang Iran dan Israel semata. Ini adalah rekayasa finansial global. Ini tentang menciptakan perang demi menyelamatkan dolar. Medan perang sejati bukan di Teheran atau Tel Aviv, tapi di pasar obligasi. Perang ini bukan demi tanah, tapi demi masa depan dominasi AS.

Presiden Donald Trump mungkin tergoda untuk meningkatkan eskalasi, membom Teheran, atau memperluas perang. Tapi Amerika TIDAK MAMPU. Perang skala penuh berarti pengeluaran gila-gilaan, defisit makin parah, pasar obligasi kolaps, dan peringkat kredit AS hancur. Ditambah lagi, ini akan memberi Tiongkok celah emas. Beijing kini menggelar latihan perang di dekat Taiwan. Jika Washington sibuk di Timur Tengah, Tiongkok mungkin akan bertindak. Itu adalah risiko yang Pentagon tidak bisa abaikan. Angka tidak bohong: perang sekarang lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. AS mungkin hanya akan menggonggong, tapi tidak menggigit.

Strategi menggunakan kekacauan untuk menarik modal ke AS sudah jadi bumerang telak. Ya, perang Ukraina memicu pelarian modal masif. Ya, sebagian industri Jerman lari ke AS. Tapi SEBAGIAN BESAR juga pergi ke Tiongkok. Investasi ke Asia Timur dan Asia Tenggara melonjak drastis. Kenapa? Karena Tiongkok kini adalah wilayah paling stabil di Bumi. Dikelilingi ketenangan, didukung militer efektif yang tenang. Kekuatan Tiongkok telah menjadi tulang punggung stabilitas ekonomi regional.

Agresi Israel jadi bumerang. Israel mungkin bisa selamat dari rudal Iran, tapi tidak akan selamat dari pasar. Modal sangat takut. Bahkan risiko 1% Tel Aviv jadi puing-puing sudah cukup untuk membuat investor kabur. Ilusi keamanan Israel kini sirna. Tidak ada modal yang akan parkir di zona perang. Begitu ilusi keamanan hilang, uang pun lenyap. Israel tidak akan bisa membangun kembali ekonominya dengan investasi asing—karena modal tidak akan masuk ke tempat rudal berjatuhan.


Dolar Terpukul, Pasar Kacau, Tiongkok Mengambil Alih

Perang Iran-Israel, yang bertujuan memicu pelarian modal ke pasar AS, TELAH GAGAL total. Alih-alih masuk ke aset AS, sejumlah besar modal Timur Tengah justru dialihkan ke Hong Kong, pusat keuangan yang melayani Tiongkok. Pada 12 Juni, hari konflik meletus, lebih dari HKD 127,8 miliar (sekitar USD 16 miliar) membanjiri Bursa Efek Hong Kong. Jauh dari memperkuat dolar, perang ini justru memperkuat orbit finansial Tiongkok—mencapai hal yang justru berkebalikan total dari yang diinginkan Washington dan Tel Aviv.

Perang ini telah meleset dari sasaran: alih-alih memicu pelarian modal ke AS, ia mengalihkan miliaran ke Tiongkok, memperkuat posisi Tiongkok. Alih-alih mengamankan Israel, ia meninggalkan negara itu hancur dan tidak layak investasi. Dan jauh dari memperkuat dominasi AS, konflik ini berisiko menarik Washington ke dalam rawa yang bisa meruntuhkan dolar, menghancurkan obligasi Treasury, dan menghancurkan hegemoni Amerika. Kanselir Jerman mungkin benar bahwa Israel melakukan "pekerjaan kotor," tapi bukan untuk kebaikan bersama. Bahkan Putin pun tersenyum, karena NATO AS yang ditarik ke perang Israel-Iran akan mengurangi tekanan darinya.

Data keuangan mengkonfirmasi segalanya. Dolar AS, yang seharusnya menjadi benteng terakhir, malah menunjukkan volatilitas dan pelemahan. Pasar saham AS, Wall Street yang diagung-agungkan, justru tertekan dan melemah drastis. Ini membuktikan bahwa perhitungan AS telah GAGAL TOTAL.

Dan di dalam negeri Amerika, jika Presiden Donald Trump melangkah terlalu jauh di Iran tanpa persetujuan Kongres, ia akan menghadapi badai politik. Demo besar akan membanjiri jalanan, dan ancaman impeachment akan kembali menghantuinya. Ini adalah biaya politik mahal atas kebijakan luar negeri yang berisiko tinggi.

Jadi, ketika Harimau Lapar (AS) gagal menangkap Naga Perkasa (Tiongkok), ia pun memangsa hewan-hewan kecil di sekelilingnya, berharap kekacauan itu akan memberinya makan. Tapi kali ini, Naga itu sudah tahu segalanya, dan bahkan dari kekacauan yang diciptakan, Naga itu justru mendapat keuntungan. Dunia ini masih rimba, dan di rimba ini, Tiongkok yang diam dan tenang, justru menjadi pemenang di balik layar.


Monthly Top